Senin, 21 November 2011

jukun ianfu

Jukun Ianfu
Malam yang kian mencekam beraroma hitam telah merenggut nadi-nadi keramaian kota.  Angin malam berhembus menebarkan keheningan hingga memecah kehangatan. Seorang wanita tua meringis menertawakan dirinya sendiri. Ia hanya menatap kosong di depan cermin tua di gubuk rentanya.  Ia hidup kalang kabut melewati waktu pada hari-hari tuanya yang sepi. Tanpa seorangpun menemaninya tinggal di pinggiran kota. Nasibnya telah direnggut takdir. Ia telah kehilangan jiwanya, bahkan ia pantas disebut gila.
Selembar foto yang selalu dikenangnya dilihatnya seksama. Foto bergambar dirinya dan sosok laki-laki yang selama puluhan tahun ia tunggu di gubuk rentanya. Matanya yang kian meredup merengkuh ribuan hari tanpa sebuah kepastian akan datangnya sosok yang ia idam-idamkan. Beribu bahkan jutaan tetes air mata yang selalu datang kala ia memandangi foto itu pada malam-malamnya, akhirnya jatuh juga. Ia tersedu-sedu di pojok gubuknya. Lampu minyak di atasnya seakan menjadi saksi atas keberingasan hidup yang melandanya.
Tigapuluh tahun lalu kecantikanya telah benar-benar menghianatinya. Sumber petaka jahanam yang merenggutnya kini. Sumitra suaminya pergi entah kemana kala itu, masih teringat juga kejaidan malam sebelum suaminya pergi meninggalkanya
Add caption
          “Mas, ini bukan salahku “ kata Sumirah
          “Dasar murahan, tak pantas lagi kau tinggal dirumah ini “ jawab suaminya
          “Aku sama sekali tak tahu kalau akan seperti ini mas” pintanya sambil berlutut pada suaminya
          “Perempuan murah selamanya tak berharga “ umpat suaminya
Setelah kejadian itu suaminya dikabarkan mencari penghidupan entah dimana. Kemudian setelahnya ia kembali ke rumah bapak dan ibunya. Berharap ia akan diterima kembali seperti sedia kala. Menjadi anak yang disayang oleh orang tua tanpa ada bekas dari kejahatan yang telah dialami. Ia tak ingin orang-orang berkata bahwa ia adalah pelacur. Karena yang ia tahu adalah sebuah penindasan haram panjajah.  Yang ia tahu hanyalah ingin menjadi wanita yang seutuhnya lagi, menjadi seorang yang suci.
Ia datang pada rumah yang ia tinggali selama masa kecil dan remajanya. Terlihat rumah yang tampak menjadi surga pengharapan satu-satunya dalam hidupnya kini. Kemudian ia mendatangi kedua bapak dan ibunya yang sedang menyeduh kopi di beranda surga pengharapan itu.
Sebelum ia memulai bicara, ia mencium aroma kemarahan yang mendalam dari raut muka bapaknya. Mukanya semerah darah mengisyaratkan sebuah kecemasan nurani dari lubuk hati.
“Pergi kau dari sini ! memalukan keluarga …“ umpat bapak dan ibunya
          “ Bapak, ini bukan salahku “
          “Tak sudi aku mengakuimu sebagai anakku lagi “
          “Tapi…”
          “Pergi, untuk apa kau ada disini “ hardik bapaknya sambil menyeret Sumirah keluar dari rumahnya.
***
Jika malam tiba Sumirah yang tidur sendirian ditemani temaram lampu minyak selalu membayangkan kejadian yang takkan uzur dalam benaknya. Kemiskinan yang ia derita sekarang bukanlah sebuah hal yang terlalu berat baginya. Jikalau ia bandingkan penghianatan besar yang dialaminya. Penyesalan yang sungguh memang masih bercokol dalam benak Sumirah. Kejadian yang hingga kini selalu membuat dirinya dicemooh semua orang. Menjadikan ia ditinggal suami dan orang tua terkasihnya.
Sumirah yang masih berumur tujuh belas tahun dan baru seminggu ia menjadi istri seorang buruh pabrik gula dipaksa ikut oleh kepala desa mengabdi pada Jepang. Waktu itu ialah sang kembang desa yang banyak diperebutkan lelaki-lelaki miskin di sekitarnya hingga bangsawan. Tetapi perasaan cintanya yang begitu besar kepada Sumitra bergelora dalam dadanya.
          Sumitra yang hanya seorang buruh pabrik rendahan . Gajinya tak cukup untuk membeli pakaian dirinya sendiri itu berani melamar Sumirah sang kembang desa. Sumirah yang sudah di butakan pesona lelaki desa itu memang tak pikir panjang. Ia menikah pada penghulu hanya dengan restu kedua orang tuanya yang dipaksakan. Karena kemisikinan yang selalu menemani, mereka langsungakan pernikahan itu tanpa perayaan sama sekali.
Waktu itu hebatnya penderitaan akibat kemelaratan membuat ia mengikuti tawaran kepala desa untuk bekerja pada Jepang. Awalnya yang ia tahu adalah berusaha untuk membantu suaminya yang banting tulang untuk membuat penghidupanya lebih layak. Ia mengikuti saja perintah kepala desa untuk mengabdi kepada Jepang yang terkenal sebagai penjajah yang tak punya ampun pada pribumi. Ia kemudian dikirim pada barak-barak prajurit di dekat pelabuhan Sunda Kelapa. Ia senang sekali mendengar suaminya mengijinkanya untuk tinggal dan bekerja pada Jepang. Selama ini tak pernah ada tawaran kerja pada rakyat jelata buta aksara, apalagi untuk wanita yang tak bisa diandalkan tenaganya.
Seminggu berlalu kian banyak wanita-wanita yang didatangkan seperti dirinya di barak. Kemudian malam-malam berikutnya menjadi jahanam bagi mereka. Prajurit-prajurit itu dengan tanpa ampun memberantas habis segalanya. Wanita-wanita dan Sumirah  disebut para prajurit sebagai Jukun atau ianfu.
Untuk melihat bulanpun meraka tak sempat lagi. Wanita-wanita itu digiring bersama memuaskan para prajurit. Mengabdi pada nafsunya siang malam. Mereka tak lagi menyaksikan mimpi-mimpi memperbaiki nasib yang sebelumnya dijanjikan kepada mereka. Kini mereka merasa menimbun dosa dalam cengkeraman takdir yang membelenggu. Hingga merasa hidup menjadi tubuh tanpa aliran darah dalam jantungnya. Dalam beberapa bulan saja mimpi-mimpi meraka sudah hangus terbakar takdir.
Ia menangis bisu, berharap suaminya akan mengampuni perbuatanya kelak. Tiap waktunya mereka menunggu giliran untuk bekerja, makan ataupun dihukum. Tak ayal semua itu membuat Sumirah melawan prajurit-prajurit itu. Tamparan dan suntikan obat penenang adalah hal yang biasa sebagai hukumanya. Beruntung Sumirah adalah salah seorang wanita yang paling cantik dalam barak. Sering perlakuan istimewa pajurit diberikanya dibanding seperti jukun lainya.
          Namun perlakuan mereka tetap membuat Sumirah tak tahan hingga ia berusaha melarikan diri dari barak jahanam itu pada pagi subuh.
          “ Mirah, mau kabur ? “ kata Wanti
          “ Iya mbak, aku tak bisa kayak gini terus. Aku tak mau menjadi pelacur di sini.  Apa kata orang nanti, apalagi suamiku ” katanya sambil menangis
          “ Sudahlah, suamimu pasti mengerti “
          “ Tapi aku tetap tak rela “ sambil memeluk tubuh Wanti
          “ Tapi kalau kamu kabur, dicincang atau digantung oleh mereka “
          “Aku tak peduli mbak “
          “Sebenarnya aku juga tak rela melayani para prajurit itu tapi aku tak bisa apa-apa”
Sumirah mengurungkan niatnya untuk kabur. Hingga hampir setahuan ia menderita di barak. Ia terus berpikir tentang Sumitra suaminya yang sekian bulan ia tinggalkan. Bergejolak rindu yang kian menghantam benaknya. Beribu doa ia panjatkan dalam renunganya bersama Tuhan pada sepertiga akhir malam pada hari-harinya. Hidup sepertinya menjadi sebuah kegundahan akan keadilan. Menjadi seorang jukun yang dipaksa takdir mengamini setiap perintah bejat orang lain.
Kejadian pengeboman barak oleh sekutu membuat hampir seluruh jukun tewas. Mereka terpanggang dalam panasnya api bersama barak-barak tentara. Sumirah yang beruntung berhasil melarikan diri bersama Wanti. Mungkin hanya dua Jukun Sumirah dan Wanti saja yang masih hidup, karena panasnya api dalam barak tak akan memberi ampun bagi seluruh penghuninya malam itu.
***
Kini tiga puluh tahun telah berlalu hingga kulit keriput Sumirah bertambah keras terukir dalam parasnya. Ia tetap meghadapi hidup yang tak bersahabat untuknya. Dalam hari-harinya kini tak ada lagi pengharapan akan sebuah kebahagiaan lagi. Ia terlalu mengerti untuk dikecewakan oleh takdir. Hanya selembar foto kusam yang dipajang pada dinding gubuk reyotnya sebagai pelipur kekosongan dalam hatinya.
Mungkin waktu bukanlah sebuah akhir penderitaan dan sepertinya waktu kian tak peduli akan Sumirah. Karena entah sampai kapan ia akan menjadi korban kekejaman dunia. Hanya Tuhan yang mengerti akan keadilan yang sesungguhya ia alami selama ini.

(from:exotic edisi 2)

Kegagalan biasanya merupakan langkah awal menuju sukses, tapi sukses itu sendiri sesungguhnya baru merupakan jalan tak berketentuan menuju puncak sukses. - Lambert Jeffries

Tidak ada komentar:

Posting Komentar